Senin, 14 Juni 2010

Ada Awal dari Sebuah Akhir

By
Silvina Nugrahwati

Langit masih gelap gulita, masih menyibukkan dirinya bersama kumparan bintang dan bulan, khusuk bertasbih atas indahnya hidup. Mentari masih beristirahat setelah seharian membalas rasa syukur atas nikmat hidup alam ini. Namun tanah tersenyum kecut. Walaupun begitu ia tak lupa menengadah agar sang Maha mengampuni bunga-bunga malam yang penuh duri. Ia terluka, ia diinjaki akar-akar kotor menanti pembeli mengambil sarinya. Angin pun tak kalah kecewanya. Ia hilir mudik menyeimbangkan panas menjadi sejuk justru menjadi saksi kebobrokan dunia yang sengaja disembunyikan oleh mereka sendiri. Mereka tahu ada yang Maha. Namun sengaja mereka tutup seluruh indera mereka. Sumpal sana sumpal sini dengan bunga bank. Tak ada yang tahu dan bisa menerka siapa yang benar dan siapa yang salah. Semua nampak palsu. Dibelakang dan diatas hanya tertawa sementara dibawah tertawa bersama lagu-lagu lara dan kemiskinan. Mereka atas namakan agama, berucap layaknya ulama namun berlaku layaknya ublis. Janji yang dibuat adalah angina lalu. Lupakan semua yang berhembus.
Aku membuka mata perlahan meskipun terganggu dengan belaian hangatnya selimut yang menutupi dan nyanyian nyamuk-nyamuk. Namun untungnya kami masih bisa bersyukur tak seperti tikius-tikus bedasi yang tak puas dengan merampas hak-hak kami.
Ku ucapkan alhamdulillah telah dipertemukan dengan hari ini kembali yang berharap akan bersinar seperti terangnya sinar mentari.
Ku buka pintu kamar, ku lirik ayah dan ibu yang bersujud di sepertiga malam. Ku langkahkan kaki dan ku susul mereka untuk menabung membeli tiket surga, tentunya bersama mereka yang ku cintai.
Menggigil jari-jemari terkena guyuran air sisa hujan kemarin malam. Berjalan setapak demi setapak walau mata belum terbuka sepenuhnya. Ku gelar sajadah tua dihadapan kiblat-Mu, ku pakai mukena kusam pemberian ibu karena aku lulus sekolah dasar dengan nilai terbaik, ku kumandangkan takbir memulai bercakap dengan-Mu.
Ku berdoa “Terima kasih ya Allah, Kau telah memberikan hamba kesempatan melihat indahnya malam ini. Namun hamba bagai bunga yang kekurangan air ketika dihadapkan dengan semu dan warna-warninya dunia. Kadang warna merah menyilaukan putihnya mata dan menambah hitam atmosfer langit dihatiku. Jagalah sinar dihati tetap terang, jangan biarkan pesonanya melemah hanya karena dunia semu. Kuatkanlah hati darah-darah hamba. Belailah mereka dan basuhlah peluhnya dengan senyuman. Amin.”
Masih sepi diluar, mentari belum menampakkan hangatnya. Ayah baru keluar rumah pergi ke surau kecil yang rapuh; bagaimana tidak, sudah hampir sepuluh tahun surau digunakan meski kin hanya dihuni oleh lima orang tua yang sudah bongkok. Ayah bersama RT sudah membuat proposal kepada Pemda setempat untuk memperbaikinya, namun mereka hanya memberikan senyuman. Maklum, mereka berdokrinkan “senyum itu ibadah”.
Allahuakbar allahuakbar
Allahuakbar allahuakbar
Ashaduallailahailallah
………………………………
……………………………..
Assholatu khoirumminannaum
Assolatu khoirumminannaum

“Alhamdulillah…. Berjamaah bu?” ajak aku semangat
Tenang rasanya, ku kecup tangan ibu yang kasar banting tulang untuk aku anak semata wayangnya. Ia berdagang dipasar, tiap pagi seusai subuh pergi Bantu ekonomi ayah yang hanya sebagai guru honorer di sebuah SD pinggiran kota. Aku sendiri hanya tamatan SMA yang mencari kerja sekedar Bantu ayah dan tambahan tabungan untuk kuliah. Tapi tak kunjung dapat pekerjaan walaupun aku di anggap siswa berprestasi.
“Ibu berangkat dulu ya sayang…”
“Ia bu, hati-hati? Semoga laris dagangannya?”
“Amin. Assalamualaikum..”
“Waalaikumsalam..”
Ku perhatikan langkah kakinya yang tak kenal lelah, kuat seperti karang di laut, tak pernah ku temukan wanita setangguh dia. Decak kagum tak pernah berhenti terucap walau hanya sedetik lalu. Menari-nari bersama gelombang bunyi semangat dan tertawa bersama peluh-peluh di tubuhnya. Lihatlah, kerudungnya sudah rapuh warna hitam yang menjadi sedikit abu-abu, baju putihnya telah lusuh berubah menjadi coklat gading.
“Hai Dinda, lagi ngapain bengong depan rumah?” sapa Dhavi lembut namu tetap mengagetkan.
“eeh.. ini lagi liat mamah.”
“Udah berangkat ya?” Tanya Dhavi lagi
“Udah barusan. Dhavi mau berangkat juga?”
“Iya nih. Masuk pagi.. ya udah Dinda masuk sana! Jangan bengong depan pintu terus.”
“Hhe… jadi malu. Ya udah bunga masuk ya? Dhavi ati-ati?”
“Siap bos! Assalamualaikum..”
“waalaikumsalam..”
Keberuntungan berpihak pada Dhavi yang tidak hanya kaya, ia pintar seperti ayahnya, dan sekarang ia kuliah di sebuah Universitas ternama di Bandung. Ia seorang yang bekerja keras dan rendah hati.
“Ayah udah sarapan belum?”
“Udah barusan, ya udah ayah berangkat dulu yah? Kamu hati-hati dirumah… Assalamualaikum…”
“Waalaikumsalam…”
Aku bagai parasit kala aku tak mampu menghasilkan, aku bagai patung kala aku diam tak berguna, aku bagai rongsokan kala aku tak dibutuhkan, namun aku bagai keledai kala aku hanya menunduk diam.
“Hemm.. ngerjain apa dulu ya? Nyuci? Ngepel? Rapihin rumah?” Aneh! Selalu bingung dalam memulai sesuatu.
“Ahaa… Nyuci baju I’m coming…”
Ku pandangi baju safari ayah. Begitu lusuh, maklum sudah sering ia pakai, ia pun hanya seorang guru honorer di sekolah terpencil tempat orang-orang yang tak berada menyekolahkan anak-anaknya. Gaji yang tidak seberapa, di tambah jarak yang lumayan jauh, menyita waktunya yang penuh makna. Ia habiskan waktu pagi hingga sore hari, walau imbalan gaji sulit ia terima.
Ku basuh penuh makna, ku siram penuh warna. Doa ananda selalu untukmu, ayahandaku…
Beres sudah semua pekerjaan, setelah itu yang biasa aku lakukan ialah mengirim lamaran ke perusahaan satu ke yang lainnya. Ku langkahkan kaki selangkah demi selangkah diikuti denting jam detik demi detik.
“Bismillahirahmanirrahim…”
Berjalan menyusuri jalan-jalan setapak yang penuh sejarah. Mengukir masa kecilku yang indah, berlarian, tertawa, bahagia, tak ada pengandaian buruk akan esok.
“Esok pasti kita sukses” ucap gadis kecil penuh percaya diri “Kamu mau jadi apa Dhavi?”
“Emmh.. Dhavi mau jadi dokter, Dinda mau jadi apa?” jawabnya gagah.
“Dinda mau jadi guru yang sukses kayak ayah.”
“Amin. Jadi nanti kalau anak-anak kita mau sekolah, Dinda yang ngajar mereka, kalau Dinda sama anak-anak kita sakit, Dhavi yang nyembuhin.” Cakap Dhavi polos
“Ihh… emangnya kalau udah besar nanti, Dhavi nikah ma Dinda gitu? Ikh Dhavi kepedean.” sanggah Dinda manja.
“Hahaha iya donk, ntra udah gede Dhavi pengen nikah sama Dinda akh…pokoknya Dinda harus mau. Khan Dhavi cakep.”
“Ya udah dech…sana!!! Tapi Dhavi harus pinter dulu, ntar jadi dokter terus nikah dech sama Dinda.” Jawab Dinda
Kenang-kenangan masa kecil membuatku malu dan ingin tertawa mengenang tingkah laku kita waktu dulu. Indah, penuh keceriaan, penuh pelangi berwarna-warni terang.

♠♣♥♦

“Mbak, mau ngasih surat lamaran, masih dibuka khan?”
“Okh,,,silahkan simpan dan mohon tunggu. Nanti, setelah dipanggil langsung masuk aja keruangan sebelah untuk diwawancara.”
Menunggu adalah bisu tanpa kata, bisu adalah buat hati meragu, meragu adalah kesalahan laku, laku yang membatasi mampu, maka semangat adalah kuat, kuat sama dengan keyakinan, untukku dan ragaku, semua untukmu mewangi disemangatmu.
“Dinda Ozawa Katsuki,,,”
“Iya mbak,,,”
“Silahkan masuk!”
Jantung berdebar kencang, seolah ada yang memukulnya layaknya hentakan drum sebuah musik rock, entah kendang punya dangdut, atau apa lah itu. Yang jelas dag,,,dig,,,dug,,,semakin kencang seperti tabuhan genderang mau perang. Aduch lebay akh,,, .
“Dinda Ozawa Katsuki?” Tanya interviewer
“Iya pak” jawabku gugup
“Umur 19 tahun?” Tanyanya lagi
“Lulusan SMA?”
“Iya”
“Sudah punya pengalaman kerja apa aja?’’
“Belum pak, ini yang pertama.”
“Kamu punya kehlian apa? IT, bahasa inggris atau manajemen?”
“Saya menguasai bahasa inggris.”
“Ada sertifikatnya?”
“Belum pernah kursus pak, tapi insyaalah saya bisa.”
“Pekerjaan rumah bisa?”
“Bisa.” Jawabku singkat. Entahlah aneh rasanya.
“Baik, anda kami terima.”
“Alhamdulillah. Terimakasih pak?”
Lafadz senyum tersungging dihadapan petua. Namun entah mengapa pelangi belum terpancar. Berharap ke awan mungkin masih jauh untuk seekor semut hitam yang masih kesulitan walau hanya mencari gula di toples besar. Segenggam recehan dari seorang tenaga kasar sepertiku mungkin bisa jadi berlembar-lembar kala ku tekuni dengan tenaga kuda dan senyuman ramah seekor kucing angora.
“Mbak ini lampirannya.”
“Keterima?” Tanya seorang gadis di bagian staff perusahaan ramah
“Alhamdulillah”
“bagian apa?
“Office girl. Bersyukur udah dapet kerja.”
“Sampai ketemu besok ya mbak.. emmh mbak siapa ya namanya?”
“Dinda. Ya udah kenalan dulu deh..”
“Oia saya Alidia.”
“salam kenal. Pamit dulu ya?”
“ati-ati Dinda…”
“Assalamualaikum…”
“waalaikumsalam…”
Tapak kaki berbentuk disana, seolah mendorongku untuk tetap tinggal dan mencoba pekerjaan yang insyaalah halal bagiku dan kedua orangtuaku. Langkah terus menari menyusuri setapak yang terus bergerak berdecak layaknya merak. Tak sadar bahwa pangeran berkudaku mendekati………
“Assalamualaikum…”
“eh… waalaikumsalam” Aku menoleh kaget kearahnya
“Ihh ya ampun… Dhavi ngagetin aja!” geramku
“hehe… salah siapa ngelamun pinggir jalan? Dibilangin jangan ngelamun terus. Eh Dinda bandel!” goda Dhavi
“heu, iya juga. Eh ngomong-ngomong Dhavi kok ada disini?”
“Ini… abis nganterin mamah nemuin koleganya.” Jelasnya “Dinda sendiri lagi apa?”
“apa ya? Mau tau?” jawab aku becanda
“ya iya lah…makannya Dhavi nanya.”
“Dinda keterima kerja!” jawabku
Sang pangeran berkuda tersenyum mewakili sunggingan yang seharusnya di bibir mungil ini. Hati berdecak kagum melihat pesona ciptaan sang Maha. Teringat akan dosa buatku palingkan ke ciptaan indah lainnya. Sepasang burung merpati bergandengan menyusuri langit biru. Berterbangan penuh pesona tanpa goresan penanda dosa. Mentari pun tersenyum membagi hangat bagi manfaat untuk umat. Sementara awan meneduhkan hati-hati yang rapuh agar segera sembuh menyeluruh. Menyanyi, menari, sambil tak lupa bertasbih akan agungnya sang Maha.
“Ayo naik?” ajak Dhavi tersenyum
“Ampunilah hambamu ya Allah, betapa indah ciptaan-Mu.” Gumamku dalam hati
“Cepet! Dasar pelamun!” ledeknya
“Dasar nyebelin!!!” teriakku kesal
“ih malu tuh diliatin orang!” tertawa ke arahku
“astagfirullah…”
Di perempat jalan ada sesuatu yang mengena, sakit seperti dikuliti, dicabik, dipukul dan dijambak. Kepala serasa ingin pecah, membuyarkan virus-virus tak bernurani. Menjerit, melawan, tapi tak tertahankan, semakin aku menjerit semakin aku mengernyit, semakin aku melawan justru semakin tak terbantahkan.
Keadaan sekeliling nampak remang-remang. Kabur seperti kabut, kelam seperti malam, kembar seperti bayang. Pangeran berkuda panic, kasih terpancar, menerawang, membantu melawan. Ya Allah sungguh sakit…ampunlah hamba-Mu yang selalu merasa hangat kala berselimut dosa.
Pangeran berkuda membawaku kerumah para pesakit. Dokter membawaku ke ruang yang dingin nan kejam.Ia pula melarang pangeran berkudaku berada dekatku. Aku masih meringis, lau seolah semua lenyap, gelap, aku tak sadarkan diri. Saat aku terbangun, dokter dengan wajah muram bercampur sendu bertanya…
“Bagimana kondisinya sekarang? Sejak kapan penyakitmu itu terasa?” Tanya dokter khawatir
“masih agak pening. Uadah satu bulan lebih Dinda ngerasa pening, tapi kali ini yang paling parah yang Dinda rasain.”
Dunia seolah akan runtuh, gunung-gunung seolah tak sabar ingin mengeluarkan beban-beban yang dikandung, lautan seolah akan menyambar ke daratan, seolah malaikat Ijroil akan meniupkan sangsangkalanya. Diagnosa dokter begitu menyakitkan. Kanker otak begitu memukul sendi-sendi darahku, melemahkan denyut-denyut nadiku, mencabik kulit-kulit lembutku, memukul hati-hati para malaikatku jika mereka tahu.
“Apa masih bisa disembuhkan dok?”tanyaku sendu
“hanya sedikit sekali kemungkinan sembuh, ananda sudah terlambat untuk diobati. Kita serahkan semuanya kepada sang Mahapenyembuh.”
Ku sampaikan keinginanku padanya agar malaikat-malaikatku tak sampai mengetahuinya. Aku akan semakin rapuh kala mereka terluka karena dan demi aku. Melihat mereka terseok-seok mencari sesuap nasi untukku saja aku tak kuasa. Bahagiakanlah mereka ya Allah…
Sang pangeran berkuda masuk, menghampiriku yang kala berbaring lemah. Ia menyapaku, menanyakan keadaanku. Sunggingan senyum yang biasa terpancar musnah seketika terganti dengan rasa dan nada sahdu akan waswas.
“Semangat Dinda!”
Kata yang mengguncangkan aliran darahku. Makin menggema mencairkan gunung es yang tengah membeku. Memuncakkan gejolak teriakkan dalam jiwa. Tak kuasa, tak sanggupmelihat malaikat dan pangeran berkudaku. Salami makna kesempurnaan hidup; tak ada kehidupan kala tak ada kematian. Seperti yang terjadi pada sahabat kecilku, Amanda. Seorang gadis mungil, cerdas, namun pendiam itu mengidap penyakit ginjal. Tubuhnya yang kecil semakin tipis. Tiap minggu ia harus menanggung sakit pencucian darah. Drahnya diganti denagn darah orang yang tak sekalipun dikenalnya.Terseok-seok ia berjalan menyusuri jalanan sempit menuju rumahku, rumah yang hanya dipisahkan oleh tiga rumah mewah dari rumah kecilnya. Ia dating dengan sekotak cokelat bermerk “jago” berbungkus merah berbentuk hati.
“Ini hatiku untukmu Dinda sahabatku…” sapanya lembut, tutur kata yang khas
Tak kusangka itu kata dan hadiah terakhirnya untukku. Kotak hati pemberiannya masih setia ku simpan meski sudah lusuh. Mengingatnya, tubuhku bergetar, bulu kundukku merinding, menyapa nyawa-nyawa rapuh dalam tubuhku. Membisikkan aku akn ketegaran; akan ada akhir dari sebuah permulaan.

♠♣♥♦
“Dindaku sayang… Dya, sahabatmu ini boleh minta tolong gak?”
“Tolong apa sahabatku yang manis?” jawabku mengejek “hahaha…”
“jangan becanda ahh! Gini, Dya pengen ketemu ma calon suami Dya, itu lho yang pernah aku certain. Tapi dia ngasih syarat. Nah syaratnya Dya harus pake kerudung. Dinda tau sendiri kan pakaian Dya sekarang?” Jelasnya
Kami berjalan menyusuri etalase pertokoan, mencari-cari disetiap etalase pertokoan, mencari-cari disetiap kumpul pakaian yang berjejer digantung rapi, berharap ada yang cocok dan sesuai. Meskipun panasnya mentari terlawan oleh AC di dalam mall, tapi subhanallah.. mentari di hati kian menyengat kala sang pangeran berkudaku dipautkan pelangi di hariku.
Ku pasangkan kerudung pink muda serasi dengan baju yang ia pakai. Benar-benar rupawan Alidiaku ini. Tak salah bila pangeran berkudaku bersanding bersama putrid cantik ini.
“Nah sekarang temani Dya buat ketemu sama Dhavi.”
Tidak semudah itu hatiku terlapangkan, bagaimana bisa aku menyaksikan mereka yang kemudian akan bersanding. Wanita mana yang kuat hatinya?
“Tugas Dinda khan sudah selesai Dya’ku sayang. Dinda pulang ya?”
“Khan ada satu lagi syaratnya. Dhavi gak mau kita jalan berdua aja, dia bilang belum muhrim. Ribet kan? Tapi please…” pintanya memaksa
Berat rasanya ya Allah… makin pening saja rasanya kepalaku. Tapi tak apalah, apa salahnya menemani kedua sahabat tersayangku itu?
Mentari menyengat, mentari menusukkan kekuatanya ke arahku. Menikamku, memenjarakanku. Menghanguskan kepingan-kepingan hatiku yang rapuh. Tuhan sayang kepadaku. Ia masih sempat meneduhkan hatiku dengan awan-awannya yang lembut.
“kok belum datang ya?” Tanya Dya khawatir
Jam kian berdetak, detik demi detik, menit demi menit. Mneunggu merupakan nyanyian rindu. Ia bisa sangat menyebalkan kala tiada kata, tiada kabar. Tapi untunglah, di zaman modern ini kita harus bersyukur ada alat telekomunikasi yang canggih. Sejauh apapun jarak yang memisahkan kita, handphone bisa jadi solusi terbaik.
Dhavi memberi kabar bahwa dia akan telat datang. Pekerjaan barunya selain mahasiswa kedokteran tingkat 4 menjadikannya semakin sibuk saja. Maklum mahasiswa berprestasi yang mempunyai bayak keterampilan.
Wajah Dya smenekuk,menunjukan bahwa ia sedang dalam keadaan BT (apa itu BT? A. Butuh Tatihtayang. B. Banyak Tingkah dan C. Bosen Total {cari sendiri jawabannya ea?}) senyman di bibir mungilnya seketika musnah, satu jam telah berlalu, minuman di meja sudah habis tak tersisa. Obrolan sudah menjadi sesuatu yang basi dan menjemukan. Namun ketika seorang laki-laki berperawakan tinggi, memakai kemeja putih, seputih kulitnya, wangi sewangi pribadinya hal-hal serupa sebelumnya musnah trhapus dengan kebahagiaan. Namun tidak bagi pribadiku.
“Maaf? Sudah lama nunggu?” sapanya kalem
“lumayan. Tapi gak apa-apa kok.” Jawab Dya lembut
Ia sedikit tercengang ketika melihat aku disamping kanannya. Ia tak mau terlihat gugup dihadapanku. Ia tersenyum manis sekali. Ku balas senyum menawannya. Ku tundukan pandangan, tak mau terlihat gugup pula.
“Kalian sudah saling kenal?” Tanya Dya kaget
“Iya. Dinda sahabat Dhavi.” Jawabnya
Menit demi menit berlalu, seolah tidak ada lagi kecanggungan antara kami bertiga. Kata-kata seolah telah dipersiapkan sebelumnya. Begitu lancer rasanya. Dhavi begitu bijak dalam mengeluarkan kata demi kata yang ia ucap. Seolah dia mengerti posisi yang terjadi denganku. Dya memulai pembicaran serius dengan Dhavi. Auraku semakin meredup. Ku putuskan untuk pamit.
“Dinda pamit pulang ya?”
Tak ada jawaban dari Dhavi, ia bungkam. Itu tanda kalau ia tidak setuju. Itulah kebiasaan buruk yang tak bisa ia ubah. Terpaksa aku duduk manis kembali. Mereka membicarakan tentang rencana pernikahan mereka. Dhavi tampak biasa saja, namun ia begitu menghargai setiap argument yang keluar dari mulut Alidia.
“Soal itu nanti kita bicarakan lagi.” Tegasnya
Kepalaku seakan mau pecah, panas sekali di dalam. Sungguh, ini bukan masalah hatiku yang sakit, bukan sama sekali. Ini masalah kepalaku yang sepertinya semakin akut. Malu rasanya untuk menjerit di depan ruangan umum, walaupun kuat rasanya dorongan itu, aku hanya bisa memegang kepalaku dan mengis tak henti. Sahabatku dan pangeran berkudaku tampak bingung, Dya menghampiriku dan menenangkanku, memberiku asupan minuman, Dhavi tampak meneteskan air mata. Entah, mungkin kami punya ikatan batin antara sepasang sahabat kecil yang punya sejuta harapan.
Kembali aku harus dibawa ke instalasi gawat darurat. Rumah Sakit yang pertama ketika aku bersama Dhavi.
Kondisiku mulai membaik, mereka; Dhavi dan Alidia membawaku pulang. Seminggu kemudian keadaanku agak pulih, bahkan dokter bilang sudah sangat pulih. Syukurku pada-Mu ya Allah…
Ibu dan Ayah tak hentinya ucapkan rasa syukur yang sama.
Aku sudah mulai bekerja seperti biasa. Menyapu dan mengepel lantai, membawakan minuman bagi para pegawai, dan disuruh membeli ini itu. Aku merasa tubuhku begitu segar.
“SEMANGAT Dinda…” dukung sahabatku Alidia
♠♣♥♦
Malam ini entah kenapa ingin rasanya aku melihat kumparan bintang menerangi kelamnya malam, menyapa bulan sabit yang tersungging manis ke arahku. Indah…
Sebuah monologku malam itu seolah rangkaian puisi bermakna… entahlah aku tiba-tiba nampak seperti pujangga.

Apabila aku harus bersamamu
Bulan
Aku rela…
Sungguh rela…
Apabila Bulan memintaku
Di sisinya
Sungguh aku rela…
Akan ku tinggalkan pelangi-pelangi pagi
Sungguh dengan rela
namun
Bila mentari seolah membunuhku
Dengan pesona sinarnya
Dan pelangi menyilaukan
Mataku
Sungguh aku
Pun rela menariknya
Dan datang memenuhi
Panggilan-Mu
Sungguh
Kini aku rela

Entahlah,, jam di dinding berdetak detik demi detik dan jam demi jam. Mataku seolah semakin memudar auranya. Berat. Sungguh berat. Apa yang menyebabkan semua ini? Gelombang apakah itu yang menurunkan pesona pancaran mataku. Melemah. Sungguh melemah. Oh aku tau. Rupanya mataku ingin beristirahat. Sudah ngantuk rupanya ia. Baiklah! Akan aku turuti maumu mata indahku.
Aura malam yang begitu menusuk kulit, menyerbu setiap sendi-sendi urat di kepalaku. Kenapa akhir-akhir ini seolah semakin menambah kadarnya.
Jam tiga pagi, itulah yang ditunjukan jam dinding usang itu. Ku bangun dan bergegas mengobati rinduku kepada-Nya. Ku sampaikan apa-apa yang sebenarnya Ia tahu tanpa aku ucap. Ku simpan bagian depan kepalaku bersujud kepada-Nya, memohon kepada-Nya akan indahnya hidup malaikat-malaikatku, beri sedikit kesabaran dalam menghadapi anugerah yang dirasa sulit ini, dan juga kesabaran akan pangeran berkudaku yang begitu jauh semakin jauh. Kuatkanlah pula pondasi hati untuk-Mu Tuhanku, tak ada alsan bagiku meninggalkan-Mu lagi demi egoku. Hamba siap, sungguh siap menghadap-Mu kapanpun Kau minta. Hamba tahu Tuhanku, begitu kurang bekal-bekal untuk nanti, hamba pun tahu betapa bekal itu pun terkuras oleh dosa-dosa hamba yang melebihi muatan. Hamba begitu rapuh tanpa-Mu ya Allah. Hamba lemah. Tak mampu hamba menjalani hidup yang penuh kelokan tajam, penuh jurang-jurang terjal yang siap melenyapkan hamba kapan saja bila hamba kurang hati-hati. Hamba hanya setetes kecil di lautan_mu yang luas. Namun sungguh hamba rela dengan anugerah-Mu ini Tuhanku.
Setetes demi setetes air menetes membasahi pipi, terus mengalir menjalar tak henti. Ku hapus lembut, ku kembangkan senyuman. “alhamdulillah.” Adzan ternyata sudah selesai dikumandangkan. Tidak terasa sama sekali. Ku rapikan sajadah yang tergeser posisinya, ku tenangkan hati kembali, dan memulai berdialog lagi dengan-Nya.
Telah aku tunaikan kebutuhan jiwaku, kini akan ku laksanakan kewajiban lainku. “bekerja penuh semangat!”

♠♣♥♦
Entah kenapa banyak yang bilang aku cantik hari ini. Heu,, that’s sound nice.. bentar deh, kayaknya aku harus membuktikan. Cermin oh cermin, siapakah gadis yang paling cantik di Desa paturay tineung? Oh, subhanallah gadis yang memakai aku.. kamulah gadis tercantik di Desa Paturay Tineung.
Itulah jawaban si cermin ajaib. Cukup memuaskan. Hahaha
“Dinda, kamu lagi apa sayang?”
Upz, ibu mengagetkanku. Khayal oh khayal.. sudah oh sudah… Tringggggg….
“enggak bu, lagi iseng.” Jawabku malu
Ternyata, pangeran berkuda tengah menungguku rupanya. Ia berbaju hitam, tampak lebih tampan dari biasanya. Ku duduk depannya, ku sapa ia yang tidak biasanya berkunjung dan masuk ke rumah mungil ayah dan ibuku. Ya, tidak biasa setelah ia mulai beranjak dewasa hingga sekarang.
“Ada pha Dhavi? Tumben.” Tanyaku
“ada sesuatu yang ingin Dhavi sampaikan. Bantu Dhavi, Din.” Jawabnya serius
Ia utarakan apa yang tengah menimpanya. Perjodohan yang sangat primitive di era modern ini. Di era yang penuh kebebasan akan hidup, akan pilihan, akan hak azazi manusia. Mendengarnya lututku lemas. Untung aku dalam keadaan duduk di kursi. Kalau tidak, entahlah apa yang terjadi? Jatuh? Atau pingsan? Heu, tak mungkin itu. Karena aku sudah tahu sebelumnya; Dhavi dan Alidia. Hey, inget itu, bukan karena aku punya indera ke-6 tapi takdir yang membuatku mengetahuinya, Tuhan yang punya wewenang.
“Dinda Bantu apa?” tanyaku bingung, benar-benar bingung. Entahlah aku tak percaya Dhavi melakukan itu.
“please Dinda… Dhavi tahu, sangat tahu. Dinda sayang khan sama Dhavi? Jawab Dinda??? Dinda gak mau kan pernikahan ini sampai terjadi?” paksa Dhavi
Sungguh aku tak kuasa. Tuhan tolonglah Hamba-Mu yang lemah ini. Teguhkanlah hati hamba dalam memilih yang terbaik bagi kami. Buanglah jauh-jauh hasrat-hasrat yang menajdikan itu salah Tuhanku.
“Dinda sayang sama Dhavi, ya Dhavi sahabat Dinda tentunya.” Jawabku
“sunguh Dinda… batalkanlah pernikahan yang akan terjadi pada kami.” Nafasnya begitu terdengar di telingaku. “dan menikahlah dengan Dhavi. Kita kabulkan mimpi-mimpi masa kecil kita, menikah bersama.”
Ku kira, ia telah melupakan janji kecilnya dulu. Ku kira semua hanya kepolosan masa kecil saja. Ya Allah.. kuatkanlah pendirian hamba.
“Dinda gak bisa. Pikirkan Alidia. Gimana perasaannya? Dinda gakkan bisa jadi istri ynag baik dengan keadaan Dinda sekarang. Dinda belum siap.”

Semua rapuh, semua terluka. Hamba rela Tuhanku. Hamba rela. Sungguh. Dhavi pamit dengan memberikan kartu undangan berwarna hitam bertuliskan nama kedua sahabatku, keduanya yang hamba cintai Tuhan. Bertuliskan tanggal 30 Mei. Besok hari sabtu. Ku bungkus kado untuk mereka, tak lupa ku lampirkan sebuah puisi di dalamnya.



Aku akan menjadi bintang
Kala malam membutuhkan sinar
Aku akan menjadi mentari
Kala siang membutuhkan sinar
Aku akan menjadi awan
Kala kalian membutuhkan
Keteduhan
Aku akan menjadi bunga
Untuk kalian
Berbagi cinta

Sungguh untuk kalian
Tuhan memberikan anugrah
Tidak untuk ku abaikan
Tidak juga untuk kalian
Acuhkan
Ada warna putih bersinar
Di balik warna-warni kehidupan
Untuk kita cari
Setiap titik dari makna

Aku adalah bintang
Dan aku akan pergi
Kala Tuhan membalikkan ke siang

Aku adalah mantari
Dan aku akan pergi
Kal Tuhan membalikkan ke malam

Kami akan bertemu
Kala Tuhan mempersatukan
Dalam fajar

Itu di hatimu]
Pangeran berkuda
Dan
Putri bergaun putih

Hari ini tanggal 30 Mei 2010, hari sabtu pukul 02.30 dini hari. Ku basuh sendi-sendi wudluku. Ku tunaikan sunat-sunatku yang bolong-bolong ku lakukan. Ku cium tangan malaikat-malikatku dengan lembut. Entah kenapa pula, hari ini aku begitu bersemangat meminta maaf kepada kedua malaikatku, memohon agar memaafkan segala apa yang telah aku perbuat. Semua coretan yang selama ini telah tergores di hidupnya.

♠♣♥♦

Ku pakai kebaya putihku yang telah lama tersimpan di lemari. Ku pakai serasi dengan terusan samping pemberian ibuku tercinta. Ku pasangkan bros bunga berwarna biru di kerudung putihku.
“cantik.”
Itulah yang malaikatku ucapkan. Ku melenggang ke pernikahan yang memberiku sebuah dilemma besar; sedih atau bahagia?
Ku putuskan aku pilih bahagia saja. Namun kebahagiaan itu sedikit tergores dengan peningku yang semakin memuncak. Dilemma muncul lagi dengan redaksi yang berbeda; pergi atau tidak?
Ku putuskan untuk pergi dan pasang topeng bahagia tanpa goresan tinta luka, baik di hati maupun kepala.
Sebelum aku naik menemui mereka yang tengah bersanding, ku lihat ada nampak tampang muram di pesona pangeran berkuda. Ku tetapkan hati, dan melaju perlahan, karena sungguh pening ini menggangguku. Nampak semakin mengganas, merongrong semua sel-sel di tubuhku, ku gapai tangan mungil sang pengantin wanita tanpa jelas. Ya, semua memudar. Buram, semakin buram dan gelap. Malaikat menyapaku dan mengajakku pergi sebelum aku sempat mengucapkan selamat pad pangeran berkuda. Kan ku simpan pengeran berkudaku hanya dihatiku.

♠♣♥♦
Kami buka lembar demi lembar kertas kusam di rak buku yang telah berdebu. Kami sampaikan terimakasih kami untuknya. Dia, Dinda Ozawa Katsuki (nama yang aneh memang) sahabat kami, perantara kami agar senantiasa menjalin kasih penuh sayang hingga kami di anugerahkan yang Maha seorang bayi manis yang kami beri nama Alda Ozawa Katsuki (Alidia, Dhavi, Ozawa katsuki).
“mari sayang… doakan sahabat kita selalu dalam dekapan-Nya.”

♂ The End ♀

Tidak ada komentar:

Posting Komentar