Senin, 14 Juni 2010

^Setitik Segar di Panen Bunga Terakhir^

^Setitik Segar di Panen Bunga Terakhir^
Created
By
Silvina Nugrahwati

Mentari menyapaku, namun senja masih menyelimuti benakku. Sudahlah, waktu sudah siang, saatnya beranjak. Tak perlu lagi kusut seperti kemarin.
Huft,, Ayo SEMANGAT!!
Langkah terasa berat.. terasa sepi disini, padahal anak kecil tertawa bersama bahagianya.
Tapi aku??? Heu.. penat sekali rasanya diliputi topeng-topeng tak bernurani itu.
“Makan dulu sayang.”
Duduk didepan televisi sambil menyantap hidangan tanpa rasa selera. Mengamati berita-berita yang tak bernurani. Siksaan seakan sarapan pagi mereka. Israel fuck!! Ya Allah harus ku syukuri semua. Ku ganti channel di TV, berita-berita memalukan pun ditayangkan disana, diberbagai acara infotainment. Seolah-olah pernikahan adalah sebuah permainan.
Setelah itu, ku matikan rutinitas di depan laya kaca. Beranjak ke kamar mandi, merupakan tahap kedua yang biasa aku lakukan. Tapi rasanya begitu malas untuk beranjak dari sana, meskipun kadang sulit bagiku memulainya.
“Bunda, aku berangkat dulu.”
Ku cium tangannya yang hangat penuh kasih, andai ku mampu ucapkan kata maaf, pasti sudah ku lakukan. Tapi sayangnya, aku tak kuasa.
“Hati-hati ya, sayang.”
“ya bun, Assalamualaikum?”
“Waalaikumsalam”

Rutinitas lingkungan yang menyebalkan! Aku diselimuti oleh orang-orang berada dan tak bernurani. Mereka kadang bermuka dua. Tapi kenapa aku diciptakan untuk sulit berteman dan mendapatkan teman? Itulah sebabnya aku kini bergantung kepada mereka.
Ketakutanku berulang ketika ku kenang sahabatku dulu. Mereka meninggalkanku karena kecerobohan dan kebodohanku. Aku yakin, aku tak sepenuhnya salah, fikirku. Namun ia menyalahkanku, menyudutkanku, memakiku dengan kata-kata kasar. Aku tak berniat mengecewakan mereka dengan pergi bersama Bian, yang juga sahabatku. Aku hanya menyimpulkan bahwa masalah selesai dan tak perlu dibereskan kesokan harinya, itu pun yang ia katakana. Tapi itu hanya kejutan bodoh penghancur persahabatan kami di ulangtahunku ke-17.
“Heh!! Bengong!!”
Linda mengagetkanku yang asyik melamun suramnya ultah ke-17ku.
“Jalan yuk?” ajakan yang menyebalkan buatku
“ Maaf, Bunga gak bisa. Bunga lagi limit uangnya. Lagian banyak tugas yang harus diselesaikan” jelasku,
“ Gak asyik ah!”

Terpaksa aku setuju, meskipun aku tak mau sama sekali. Kejadian itu gak mau terulang lagi, tragedy dimana aku harus dibenci, dan dicaci-maki mereka.
Heu, suara merdu Cristina Aguilera mengagetkanku.
“ Ya, hallo?”
“bebz, ditunggu depan kampus.”
“ada apa?”
“cepet!!!”
Tut………..tut,……. Tut…….
Dasar! Main mati-matiin telpon seenaknya. Wafa o Wafa. Dia merupakan orang yang ku fikir paling baik diantara teman-teman busukku. Ia yang selalu memberikan perhatian lebih.
Ku tepuk pundaknya, dan kusapa,
“hi, mau kemana?”
“ Makan dulu yuk?”
“Bunga gak punya uang, Bunda gak ngasih udah ampir dua bulan lebih.”
“Mulai gak nurut?”
“ya…”
Pikiranku entah kemana saat itu. Kemana lagi harus kucari setumpuk uang untuk hidupku? Ia kadang memintaku membayarkan makanan yang ia pesan pula. Apakah ada yang lebih buruk dari ini?? Heu? Ia memintaku dan selalu memintaku memuaskan nafsunya. Ciuman merupaka suatu hal yang tabu bagiku. Bodoh!! Aku selalu tak bisa menolak. Ia selalu berargumen dan tak dapat kubalas.
“Ini bukan nafsu, ini sayang. Masih ragu??”
Selalu itu! Aku pun luluh lagi. Tapi kadang aku bisa mengatakannnya bahwa aku tak suka dan tak mau! Tapi seketika itu, ia tampak jijik dan benci melihatku. Aku tak mau itu terjadi. I hate to love. Damn!
Nampak sekali tak ada ketulusan di dunia ini pikirku. Hidupku tampak seperti sampah, apalagi ketika ia menggerayami tubuhku. Maafkan aku…
Ku pulang dan tak lupa kut tangisi semua ini, berharap semua berubah. Nada sms berdering, kubuka. Aku kaget sekaligus tak percaya ketika melihat ternyata itu dari Bian.
Gimana kabarnya?
Alhamdulillah baik.
………………………………..
Mulai saat itu kami semakin dekat. Ia tampak semakin peduli. Aku mulai terkenang dan berharap semua kembali. Tapi kadang aku membenci dia. Ku piker, dia salah satu hal yang menyebabkanku bertemu Wafa. Ia membuatku harus bergelut dengan semua kemuakan itu. Ia mninggalkanku tanpa sebab. Yang jelas. Aku menyayanginya. Ingin rasanya ku ucapkan itu, tapi Wafa merusak segalanya. Semua percaya dengan topeng yang ditutupinya dengan rapi.
“ Gimana sama Wafa?”
“Biasa-biasa aja.”
Rapuh rasanya menelan semua kepahitan ini. Rumit rasanya. Ditambah dengan kondisi keuangan yang memuncak tajam, membuat atmosfer dirumah tak kondusif. Tapi selalu ku coba pejamkan mata. Berharap tak menemukan hari esok.

*^----^*

Hari ini adalah panen bunga bagiku. Bian mengajakku bertemu. Namun sulit rasanya menemukan kesegaran hari ini. Perutku mual, pening rasanya kepala. Itu akibat karena aku tak mengizinkanperutku terisi kemarin, setelah seharian menangisi semua hal bodoh yang terjadi.
“Jadilah bagianku”
Kata yang indah namun menyesakkan dada. Aku tak mau dia kecewa dengan keadaanku yang telah terenggut kesuciannya, disatu sisi aku membutuhkannya. Setelah ku coba meninggalkan Wafa dan topengnya.
“Bian gak peduli. Bian ingin mengangkat Bunga menjadi wanita seutuhnya. Telah cukup dunia melukaimu!”
Bunga pulang dengan kegembiraan, ia tak menyangka ada bintang yang bersinar. Meskipun perang tetap terjadi disekeliling. Bunda menangis tiap hari, Ayah tak kunjung dapatkan uang penebus ganti rugi atas penipuan yang menimpanya. Barang-barang mulai habis terjual, tak bersisa kecuali rumah tua yang tak kunjung laku dibeli. Ayah dituduh sebagai penggelap uang dari bisnis yang baru ia jalani.
Tapi anehnya, malam ini aku sangat lelap tertidur, sangat lelap, mungkin karena ucapan indah yang diutarakan Wafa. Namun aku sempat bermunajat agar hidup kami lebih baik, tak lupa bersyukur dan memohon ampun kepada-Nya.
Keesokan harinya, puluhan polisi mendatangi persinggahan terakhir kami untuk menagkap Ayah karena tuduhan kasus penipuan. Namun, semua mata terperangah, ketika Ayah tak jadi dibawa ke penjara. Mereka lantas membaea kami ke pembaringan terakhir. Ya, Ayah megajak kami untuk pergi bersamanya. Ia menembakkan senapan ke kepala Bunda yang sedang tertidur disampingnya, lantas ke arahku yang lelap bermimpi akan hari esok.



*The End*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar